Jakarta, Kamis (13 November 2008) – Pemerintah dan lembaga legislatif seharusnya mengambil langkah untuk melakukan perbaikan dan menyusun program terpadu untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Namun, belum ada program terpadu yang dilakukan Pemerintah. Kesimpulan ini disampaikan Ketua BPK RI, Anwar Nasution saat menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun Anggaran 2008 kepada DPD dalam Sidang Paripurna di Gedung DPR, 13 November 2008.
Pada Semester I Tahun 2008, BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara pada pemerintah pusat sebanyak 152 objek, pada Pemerintah Daerah termasuk BUMD sebanyak 301 objek dan di lingkungan BUMN sebanyak 12 objek. Fokus pemeriksaan adalah pada pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), termasuk pemeriksaan atas 87 Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) Tahun 2007, dan pemeriksaan atas 275 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2007. Dari pemeriksaan tersebut, BPK menyimpulkan bahwa kondisi laporan keuangan di Pusat dan Daerah mengalami penurunan kualitas dari tahun ke tahun. Sebagian besar permasalahan terkait dengan kelemahan sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Di tingkat pusat, dari 85 LKKL yang diperiksa, BPK memberikan penilaian baik (WTP atau “Wajar Tanpa Pengecualian”) hanya kepada 16 kementerian/lembaga yang menguasai sebagian kecil anggaran, yaitu 12% dari APBN. Laporan Keuangan Setjen BPK 2007 memperoleh opini WTP dari KAP HLB Hadori dan Rekan yang ditunjuk oleh DPR. Sementara itu, BPK memberikan penilaian buruk, yaitu disclaimer (Tidak Memberikan Pendapat/TMP) pada 37 LKKL dan Tidak Wajar (TW) pada 1 Kementerian/Lembaga yang menguasai porsi terbesar APBN, seperti Departemen Keuangan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Pertahanan/TNI.
Di tingkat Daerah, opini atas LKPD selama periode 2004 – 2007 juga mengecewakan. Persentase LKPD yang dinilai baik (masuk dalam kategori WTP) hanyalah satu persen. Ini merupakan kemerosotan serius yang berlangsung secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir. Bila pada 2004, terdapat 7% LKPD yang masuk dalam kategori WTP, angka itu terus menurun menjadi 5% pada 2005, 1% pada 2006 dan 1% pada 2007. Sebaliknya, LKPD yang dianggap buruk (masuk dalam kategori TMP dan TW) terus meningkat.
Persentase LKPD yang mendapatkan opini TMP meningkat dari hanya 2% pada 2004 menjadi 17% pada 2007. Bahkan, pada periode yang sama, LKPD yang memperoleh opini Tidak Wajar naik dari 4% menjadi 19% (51 LKPD). Selain itu, sebagian besar LKPD Propinsi, Kabupaten, dan Kota yang diterima BPK sudah melewati batas waktu yang ditentukan oleh Undang-undang sehingga dalam Semster I 2008 BPK hanya dapat menyelesaikan pemeriksaan atas 275 LKPD.
Buruknya opini pemeriksaan atas LKPD antara lain disebabkan oleh kemampuan Pemerintah Kabupaten/Kota yang terbatas untuk menyusun program dan laporan keuangnnya. Berbagai instansi vertikal juga belum rela menyerahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah. Agar otonomi daerah dapat mencapai tujuan yang diharapkan, Pemerintah Pusat khususnya Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan perlu memberi perhatian khusus untuk meningkatkan kemampuan Pemda dalam mengelola keuangan yang digunakan untuk membangun daerah.
Berbagai permasalahan di daerah yang signifikan, antara lain aset tanah dan bangunan senilai Rp16 triliun serta penyertaan modal pemerintah daerah pada BUMD sebesar Rp447 miliar tidak didukung dengan bukti kepemilikan; pelaksanaan pekerjaan/pengadaan barang yang merugikan keuangan daerah minimal Rp77 miliar; bantuan kepada instansi vertikal minimal Rp51 miliar tidak sesuai ketentuan; pengelolaan penerimaan dan pengeluaran daerah minimal Rp625 miliar tanpa melalui mekanisme APBD; dan pertanggungjawaban belanja daerah minimal sebesar Rp2 triliun tidak dapat diyakini kebenaran dan kewajarannya.
Leave a Reply