Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2013 Wajar Dengan Pengecualian

Jakarta, Selasa (10 Juni 2014) – Memenuhi Pasal 17 Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tangung Jawab Keuangan Negara, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK), Dr. H. Rizal Djalil menyampaikan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2013 kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) dalam Rapat Paripurna DPR di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, pada hari ini (10/6). Dalam penyampaian hasil pemeriksaan tersebut hadir pula Wakil Ketua BPK, dan Anggota BPK serta para pejabat pelaksana BPK.

Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2013 tersebut terdiri dari: 1) Ringkasan Eksekutif Hasil Pemeriksan atas LKPP Tahun 2013; 2) LHP atas LKPP Tahun 2013; 3) LHP atas Sistem Pengendalian Intern (SPI) LKPP Tahun 2013; 4) LHP atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-Undangan LKPP Tahun 2013; 5) Laporan Pemantauan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan atas LKPP Tahun 2007-2012; dan 6) Laporan Tambahan berupa Laporan Hasil Reviu atas Pelaksanaan Transparansi Fiskal Tahun 2013.

Pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2013 meliputi Neraca Pemerintah Pusat tanggal 31 Desember 2013 dan 2012, Laporan Realisasi APBN (LRA), dan Laporan Arus Kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal-tanggal tersebut, serta Catatan atas Laporan Keuangan.

BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (qualified opinion) atas LKPP Tahun 2013, sama dengan opini yang diberikan BPK atas LKPP Tahun 2012, namun terdapat pengurangan unsur yang menjadi pengecualian. LKPP Tahun 2013 mendapat opini WDP dengan dua permasalahan. Pertama, adanya kelemahan dalam pengelolaan piutang bukan pajak pada Bendahara Umum Negara yaitu: (1) dari jumlah Piutang Over Lifting migas sebesar Rp7,18 triliun diantaranya sebesar Rp3,81 triliun tidak sepenuhnya menggambarkan hak negara yang akan diterima pada periode berikutnya karena nilainya belum pasti dan masih memerlukan pembahasan kembali dengan KKKS terkait; (2) dari jumlah piutang penjualan migas bagian negara sebesar Rp3,86 triliun diantaranya sebesar Rp2,46 triliun mengandung ketidakpastian dan masih memerlukan pembahasan dengan KKKS terkait karena adanya perbedaan pendapat antara SKK Migas dan KKKS mengenai perhitungan bagi hasil; (3) nilai Aset Kredit Eks BPPN yang disajikan sebesar Rp66,01 triliun belum termasuk Aset Kredit Eks BPPN sebesar Rp3,06 triliun yang belum selesai ditelusuri oleh Pemerintah; dan (4) terdapat saldo Dana Belanja Pensiun sebesar Rp302,06 miliar yang sudah lebih dari enam bulan berturut-turut tidak diambil oleh penerima pensiun dan belum disetorkan kembali kepada Pemerintah namun belum disajikan sebagai bagian dari Piutang. Data yang tersedia tidak memungkinkan BPK melaksanakan prosedur pemeriksaan yang memadai untuk memperoleh keyakinan mengenai nilai yang mencerminkan Hak Pemerintah atas Piutang Bukan Pajak berupa tagihan over lifting, penjualan migas, Aset Kredit Eks BPPN dan saldo Dana Belanja Pensiun pada mitra bayar PT Taspen.

Kedua, Pemerintah melaporkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) per 31 Desember 2013 sebesar Rp66,59 triliun. Data yang tersedia tidak memungkinkan BPK melaksanakan prosedur pemeriksaan yang memadai untuk menilai kemungkinan dampak selisih-selisih tersebut terhadap salah saji SAL.

BPK juga menemukan permasalahan signifikan terkait kelemahan sistem pengendalian intern (SPI) antara lain: (1) ketidakjelasan basis regulasi terkait metode perhitungan witholding tax atas empat Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Karya Pertambangan yang mengakibatkan ketidakpastian potensi penerimaan Negara; (2) penerimaan hibah langsung pada 19 KL sebesar Rp2,69 triliun belum dilaporkan; dan (3) pengendalian atas pengelolaan belanja subsidi non energi kurang memadai.

Permasalahan signifikan terkait ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan antara lain: (1) penetapan dan penagihan pajak tidak sesuai ketentuan yang mengakibatkan piutang pajak daluwarsa sebesar Rp800,88 miliar; (2) PNBP pada 30 KL sebesar Rp384,97 miliar dan USD1.00 juta terlambat/belum disetor, kurang/tidak dipungut, berindikasi setoran fiktif, dan digunakan langsung di luar mekanisme APBN; (3) pembiayaan kegiatan SKK Migas tidak melalui mekanisme APBN serta pertanggungjawaban keuangan dan operasional SKK Migas tidak dilaporkan dalam LKPP; dan (4) alokasi laba BUMN untuk program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL) yang dikelola secara ekstrakompatabel mengurangi hak negara atas kekayaan BUMN minimal sebesar Rp9,13 triliun dan berpotensi terjadi penyalahgunaan dana PKBL.

Berdasarkan kelemahan-kelemahan SPI dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan tersebut di atas, BPK merekomendasikan kepada Pemerintah antara lain : (1) Menetapkan secara jelas mengenai basis regulasi terkait metode perhitungan Witholding Tax atas Wajib Pajak Kontrak Karya sebelum Tahun 2013 dan menyelaraskan ketentuan antara Kontrak Karya dengan Undang-Undang dan aturan pelaksanaannya; (2) Menetapkan payung hukum yang diperlukan dalam upaya pengamanan penerimaan negara dari hasil penjualan migas bagian Negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 ayat (5) UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang didalamnya termasuk antara lain mekanisme offseting hasil penjualan migas dengan DMO Fee KKKS; (3) Membayar tambahan biaya distribusi dan margin untuk Premium dan Solar dari kilang dalam negeri setelah tata cara penghitungan volumenya ditetapkan; (4) Menetapkan ketentuan mengenai batas minimal penyaluran pendanaan KPEN-RP, KUPS dan S-SRG oleh bank pelaksana dan mengambil tindakan tegas kepada bank pelaksana yang tidak memenuhi ketentuan batas minimal penyaluran; (5) Menetapkan ketentuan mengenai status dan pengelolaan dana PKBL dengan memperhatikan UU Keuangan Negara, UU BUMN, dan standar akuntansi yang berlaku; serta melakukan langkah-langkah perbaikan atas pelaksanaan PKBL untuk menjamin keberlanjutan program tersebut dan tidak merugikan keuangan negara; (6) Melakukan perbaikan perhitungan dan penyajian akumulasi penyusutan dalam laporan keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (7) Melakukan pengawasan dan pengendalian atas barang milik negara yang masuk Daftar Normalisasi Barang Milik Negara, Daftar Barang Rusak Berat, dan Daftar Barang Hilang; (8) Menetapkan peraturan terkait sistem akuntansi dan pelaporan aset PKP2B, melakukan IP aset pada tujuh PKP2B dan inventarisasi pada aset LNG Tangguh, menyempurnakan SOP/ketentuan yang mengatur mekanisme rekonsiliasi pencatatan aset, integrasi sistem pencatatan, dan pelaporan transaksi aset kepada pengelola barang; (9) Segera menyelesaikan permasalahan utang piutang antara Pemerintah dan PT PIM sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; (10) Meningkatkan pengawasan secara berjenjang terkait dengan kegiatan pemeriksaan, penetapan dan penagihan pajak secara aktif; dan (11) Segera menyelesaikan pembangunan dan implementasi sistem informasi PNBP.

Hasil reviu atas pelaksanaan transparansi fiskal yang dilakukan atas pemenuhan 45 kriteria transparansi fiskal yang meliputi kejelasan peran dan tanggung jawab pemerintah; proses anggaran yang terbuka; ketersediaan informasi bagi publik; dan keyakinan atas integritas data yang dilaporkan menunjukkan bahwa pemerintah sudah memenuhi sebanyak 29 kriteria, dan belum sepenuhnya memenuhi sebanyak 16 kriteria.

Hasil pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi BPK dalam hasil pemeriksaan Tahun 2007-2012 menunjukkan dari 36 temuan dengan rekomendasi sebanyak 83, Pemerintah telah menindaklanjuti sesuai rekomendasi sebanyak 12 dan masih terdapat tindak lanjut belum sesuai rekomendasi sebanyak 71, dan tidak terdapat rekomendasi yang tidak dapat ditindaklanjuti. Pemerintah telah menindaklanjuti rekomendasi BPK, antara lain dengan: (1) Memperbaiki aplikasi SP2D sehingga KPPN dapat menolak revisi DIPA yang menyebabkan pagu minus; (2) Menerbitkan PMK Nomor 79/PMK.02/2012 tentang Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dan Penghitungan Pajak Penghasilan untuk Keperluan Pembayaran Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi Berupa Volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi; (3) Menyempurnakan Buletin Teknis Inventarisasi dan Buletin Teknis Penilaian Aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), memverifikasi kelayakan kapitalisasi Subsequent Expenditure dan kewajaran penilaian aset scrap, mengklarifikasi dan menyelesaikan Aset KKKS yang dikuasai dan digunakan oleh pihak ketiga, serta melakukan koordinasi intensif dengan stakeholder (KKKS, BPMIGAS, Kementerian ESDM), dan menyelesaikan Inventarisasi dan Penilaian (IP) BMN KKKS yang belum diselesaikan sejak Tahun 2011; (4) Melakukan rekonsiliasi Penerimaan Hibah antara Ditjen Pengelolaan Utang (DJPU) dengan Kementerian/Lembaga (KL) dan BUN secara periodik; dan (5) Menerbitkan ketentuan penyusutan Barang Milik Negara.

Sementara itu rekomendasi yang masih dalam proses tindak lanjut antara lain adalah: (1) Menetapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait koordinasi antara Ditjen Pajak (DJP), Ditjen Anggaran (DJA), dan Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas untuk menindaklanjuti PMK Nomor 79/PMK.02/2012 pasal 16; (2) Menyusun peraturan penganggaran kembali atas belanja akhir tahun yang dilanjutkan pada tahun berikutnya; (3) Menetapkan klasifikasi anggaran dalam DIPA sesuai dengan ketentuan; (4) Menyusun sistem perencanaan dan penganggaran atas penarikan pinjaman luar negeri yang mengakomodasi penerbitan Surat Perintah Pembukuan/Pengesahan (SP3) atas Notice of Disbursement tahun anggaran yang lalu; (5) Melakukan penertiban rekening-rekening pemerintah yang tidak terdata pada BUN dan melakukan rekonsiliasi dengan KL terkait rekening lainnya secara periodik; (6) Menelusuri keberadaan dokumen sumber Aset Eks BPPN berdasarkan hasil pemetaan, melakukan inventarisasi, perhitungan, dan penilaian atas Aset Eks BPPN yang belum dilakukan IP; (7) Menyempurnakan peraturan, sistem, dan aplikasi perhitungan selisih kurs. Pemerintah masih akan melakukan penyempurnaan sistem perhitungan selisih kurs terkait rekening khusus yang akan dilaksanakan sejalan dengan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN); dan (9) Menetapkan status pengelolaan keuangan SKK Migas, sumber dan mekanisme pendanaan SKK Migas melalui mekanisme APBN, serta mengusulkan undang-undang yang mengatur tentang fungsi dan tugas SKK Migas sebagaimana diamanatkan dalam putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012.

Opini atas laporan keuangan kementerian negara/lembaga (LKKL) banyak mengalami peningkatan. Opini atas LKKL yang merupakan elemen utama LKPP, menunjukkan kemajuan yang signifikan. Jumlah KL yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK telah meningkat, berturut-turut dari tahun 2010 hingga 2013. Pada tahun 2010 terdapat 50 KL yang memperoleh opini WTP, kemudian meningkat menjadi 61 KL pada tahun 2011, 62 KL pada tahun 2012, dan 65 KL pada tahun 2013.

Perkembangan Opini Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) Tahun 2009-2013

Opini

Tahun

2009

2010

2011

2012

2013

Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)

42

50

61

62

65

Wajar Dengan Pengecualian (WDP)

24

25

17

22

19

Tidak Memberikan Pendapat (TMP)

7

2

2

3

2

Tidak Wajar (TW)

Jumlah LKKL dan LKBUN

73

77

89

87

86*

* : Jumlah entitas yang diperiksa sebanyak 87 entitas LKKL tahun 2013, satu entitas belum selesai pemeriksaannya yaitu Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Pemeriksaan belum selesai karena LK unaudited diserahkan kepada BPK tanggal 21 April 2014.

BPK berharap DPR dapat membantu tindak lanjut hasil pemeriksaan LKPP oleh Pemerintah sehingga tidak ada masalah yang sama pada tahun berikutnya dan kualitas LKPP dapat terus ditingkatkan oleh Pemerintah.

BIRO HUMAS DAN LUAR NEGERI

» Format PDF

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of