Semarang, 18 Desember 2008. ”Transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah selama empat tahun terakhir (2004-2007) semakin memburuk,” demikian Ketua BPK RI, Anwar Nasution dalam acara Dialog Publik BPK RI dan Pemprov Jawa Tengah di Gedung Grhadika Bhakti Praja, Semarang, hari ini. Oleh karena itu diperlukan percepatan perbaikan sistem keuangan daerah melalui langkah-langkah konkret, terjadwal dan melibatkan seluruh komunitasakuntabilitas di daerah, lanjut Anwar.
Kondisi memburuk ini dapat dilihat dari persentase LKPD yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) selama periode 2004-2007 semakin menurun setiap tahunnya. Persentase LKPD yang mendapatkan opini WTP semakin berkurang dari 7% pada 2004 menjadi 5% pada tahun berikutnya dan hanya 1% pada 2006 dan 2007. Persentase LKPD yang mendapat opini WDP juga merosot dari tahun ke tahun. Sebaliknya, persentase LKPD dengan opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP/Disclaimer) semakin meningkat dari 2% pada 2004 menjadi 17% pada 2007 dan pada periode yang sama opini Tidak Wajar (TW) naik dari 4% menjadi 19%.
Hasil Pemeriksaan atas 275 LKPD Tahun 2007 yang dilakukan pada semester I TA 2008 menunjukkan bahwa hanya 3 LKPD yang memperoleh opini WTP, 173 LKPD dengan opini WDP, 52 LKPD dengan opini TMP dan 51 LKPD dengan opini TW. Bagi Pemerintah Daerah, mereka harus segera bertindak melakukan perbaikan agar laporan keuangan yang mereka buat bisa mendapat opini WTP. Diperlukan action plan atas enam bidang perbaikan yang harus dilakukan adalah: (1) Sistem pembukuan, (2) Sistem aplikasi teknologi komputer, (3) Inventarisasi aset dan utang, (4) Jadwal waktu penyusunan laporan keuangan dan pemeriksaan serta pertanggungjawaban anggaran; (5) Quality Assurance atas LKPD oleh pengawas intern; dan (6) Sumber daya manusia.
BPK telah mengambil enam bentuk inisiatif untuk mendorong percepatan pembangunan sistem pembukuan dan manajemen keuangan negara. Keenam bentuk inisiatif itu adalah merupakan beyond the call of duty bagi BPK yang mempengaruhi baik eksekutif maupun legislatif, yaitu:
a. Pemerintah daerah menandatangani management representative letter dalam setiap pemeriksaan BPK RI untuk menunjukkan komitmen dan tanggungjawabnya terhadap upaya perbaikan sistem keuangan daerah;
b. Pemerintah daerah menentukan kapan mencapai opini WTP dengan menyusun action plan yang memuat apa yang harus dilakukan, aspek atau bidang apa yang perlu diperbaiki, bagaimana caranya, siapa yang melakukannya dan kapan atau jadwal kegiatannya;
c. Pemerintah daerah menggunakan universitas setempat dan BPKP untuk memperbaiki sistem keuangan daerah dan aplikasi komputernya, serta meningkatkan SDM melalui pelatihan akuntansi keuangan daerah, dan penyediaan tenaga pembukuan yang trampil;
d. Mendorong perombakan struktural Badan Layanan Umum (BLU), BUMN dan BUMD agar menjadi lebih mandiri dan korporatis. BLU termasuk sekolah hingga universitas dan rumah sakit pemerintah Pusat dan Daerah.
e. DPRD membentuk panitia akuntabilitas publik untuk mendorong pemerintah daerah dan menindaklanjuti temuan BPK RI untuk perbaikan sistem pengendalian intern dan percepatan pembangunan sistem keuangan daerah, termasuk penyusunan peraturan daerah terkait.
f. Dalam lingkungan makro, di tingkat departemen, Depdagri, Depkeu, dan Departemen teknis berkoordinasi untuk menyusun suatu desain yang jelas dalam melaksanakan paket tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004 dalam kaitannya dengan otonomi daerah untuk meniadakan serangkaian peraturan yang tidak jelas, multi tafsir, rumit, tidak stabil dan sering berubah; BPK berharap agar langkah tersebut di atas dapat segera dilaksanakan dengan baik. Buruknya transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah meningkatkan peluang kebocoran dan menghambat kinerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan dan kesejahteraan pada rakyatnya.
Biro Humas dan Luar Negeri
Leave a Reply