15/09/2009 – 09:50
Jakarta, Selasa (15 September 2009) – Meski hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara selama 2004 – 2008 masih menunjukkan banyak kelemahan, BPK menemukan tanda-tanda perbaikan dalam satu tahun terakhir. Demikian disampaikan Ketua BPK RI, Anwar Nasution, dalam penyerahan Buku Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2009 kepada DPR RI, di Gedung DPR, Jakarta, hari ini. Pada kesempatan tersebut, Ketua BPK RI juga menyampaikan evaluasi perkembangan hasil pemeriksaan BPK selama lima tahun terakhir, termasuk rekomendasi dan upaya terus menerus BPK dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas keuangan negara serta upaya perbaikan yang telah dilakukan pemerintah. “Upaya BPK terus mendorong kualitas pengelolaan keuangan negara telah membuahkan kemajuan pada tahun kelima,” ujar Anwar.
Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2009
Penyerahan IHPS kali ini merupakan yang terakhir bagi kepemimpinan BPK RI 2004-2009. Pemeriksaan difokuskan pada pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah, di samping melakukan pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Objek pemeriksaan BPK RI dalam Semester I Tahun 2009 sejumlah 491 entitas terdiri dari 382 objek pemeriksaan keuangan dengan cakupan pemeriksaan meliputi neraca (dengan rincian aset senilai Rp2.400 triliun, kewajiban senilai Rp1.700 triliun, serta ekuitas senilai Rp761 triliun) dan Laporan Realisasi Anggaran (dengan rincian: pendapatan senilai Rp1.212 triliun, dan belanja/biaya senilai Rp1.219 triliun). PDTT meliputi 103 objek pemeriksaan dengan cakupan senilai Rp136,63 triliun, dan 6 pemeriksaan kinerja dengan cakupan tidak secara spesifik menunjuk nilai tertentu. Total temuan dari 491 Laporan Hasil Pemeriksaan adalah Rp33,56 triliun. Dari total temuan tersebut di antaranya adalah temuan ketidakpatuhan yang mengakibatkan adanya kerugian negara/daerah/perusahaan, potensi kerugian negara/daerah/perusahaan dan kekurangan penerimaan bagi negara/daerah/perusahaan senilai Rp28,49 triliun. Selama proses pemeriksaan berlangsung dari nilai temuan tersebut telah ditindaklanjuti dengan penyetoran ke kas negara/daerah senilai Rp525,32 miliar.
Pemeriksaan keuangan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2008 menghasilkan opini tidak memberikan pendapat (TMP atau disclaimer). Walau lima tahun berturut-turut LKPP memperoleh opini TMP, BPK menilai di tahun 2008 telah ada upaya perbaikan seperti (1) penyusunan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara, (2) penyempurnaan aplikasi perpajakan, (3) pengungkapan memadai belanja di luar mekanisme APBN yang berasal dari rekening antara penerimaan, (4) penertiban rekening pemerintah, (5) penyajian sebagian besar penyertaan modal negara sesuai laporan keuangan yang diperiksa, (6) penyelesaian inventarisasi dan revaluasi sebagian aset tetap, (7) penyempurnaan administrasi pinjaman luar negeri, khususnya saldo pinjaman luar negeri. Selain opini, BPK juga menemukan kelemahan atas sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, antara lain revaluasi aset tetap senilai Rp77 triliun yang belum dibukukan oleh 8.200 satker, aset tetap yang belum dijelaskan keberadaannya senilai hampir Rp16 triliun, aset lain-lain yang belum diinventarisasi maupun dinilai kembali seperti aset eks Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi senilai Rp303 triliun, aset PT PPA senilai Rp5 triliun, dan aset Tim Koordinasi Depkeu senilai Rp7 triliun.
Pemeriksaan atas 83 Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) 2008 menghasilkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas 35 LKKL, opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas 30 LKKL, dan disclaimer atas 18 LKKL. Hal ini menunjukkan kemajuan signifikan opini atas LKKL dari 2006 hingga 2008. Jika pada 2006 hanya 7 LKKL yang mendapat opini WITP, pada 2007 menjadi 16 dan pada 2008 menjadi 35. Artinya, semakin kewajaran laporan keuangan meningkat tiap tahun, semakin dapat diandalkan oleh pengguna. Temuan atas sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan antara lain (1) ketidaktertiban pelaksanaan belanja di luar mekanisme APBN, pengelolaan pemberian hibah/bantuan senilai Rp691miliar pada Departemen Kesehatan, (2) ketidakjelasan perlakukan akuntansi kewajiban pemerintah senilai Rp28 triliun dan ketidakjelasan status dana talangan BI atas penyertaan pemerintah pada lembaga internasional senilai hampir Rp3 triliun pada Bagian Anggaran 099, (3) kelebihan pembayaran atas perjalanan dinas senilai hampir Rp3 miliar dan atas belanja barang/jasa senilai Rp1,5 miliar pada Departemen Dalam Negeri, dan (4) kekurangan penerimaan, penerimaan negara bukan pajak senilai Rp768 miliar pada Departemen Luar Negeri.
Pemeriksaan atas 293 LKPD 2008 dan satu LKPD 2007 menghasilkan opini WTP atas 8 LKPD, WDP atas 217 LKPD, tidak wajar (TW) atas 21 LKPD, dan disclaimer atas 47 LKPD. Perkembangan opini LKPD Tahun 2006 sampai dengan 2008 menunjukkan suatu peningkatan dalam opini WTP dan WDP, dan penurunan pada opini tidak wajar dan disclaimer. Kondisi ini menunjukkan adanya perbaikan yang dicapai oleh pemerintah daerah dalam menyajikan laporan keuangan yang wajar. Permasalahan yang masih dijumpai terkait SPI dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan diantaranya sistem informasi akuntansi dan pelaporan tidak memadai, perencanaan anggaran tidak memadai, dan kelebihan pembayaran tunjangan.
Pemeriksaan kinerja atas Pengendalian Pencemaran Air Sungai Ciliwung dan Pengelolaan Pengawasan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada Semester I 2009 dan empat pelayanan kesehatan pada RSUD pada Semester II 2008 menunjukkan (1) Pengendalian atas pencemaran air Sungai Ciliwung kurang efektif; (2) BNP2TKI belum memiliki standar dan pedoman pengawasan, termasuk kurang optimalnya koordinasi pengawasan dengan Depnakertrans serta (3) kinerja pelayanan kesehatan pada RSUD masih perlu ditingkatkan.
Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu/PDTT meliputi 103 objek terdiri dari 46 objek pemerintah pusat, 36 objek pemerintah provinsi/kabupaten/kota, 16 BUMN, dan 5 BUMD. Temuan signifikan PDTT antara lain: (1) di Kejaksaan Agung, uang pengganti senilai Rp5 triliun dan USD293 juta, serta denda Rp30 miliar di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta belum berhasil ditagih; (2) di Departemen Kehutanan, terdapat kelebihan pembayaran biaya jasa pemeliharaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu Tahun 2007 dan 2008 senilai hampir Rp17 miliar.
Hasil pemantauan pelaksanaan tindak lanjut atas hasil pemeriksaan BPK RI sampai dengan akhir semester I TA 2009, terdapat lebih dari 62 ribu temuan dengan lebih dari 112 ribu rekomendasi. Dari jumlah itu, sekitar 49 ribu rekomendasi telah ditindaklanjuti, hampir 22 ribu rekomendasi dalam proses tindak lanjut, dan sekitar 41 ribu rekomendasi belum ditindaklanjuti. BPK berharap dengan dibentuknya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) di DPR, penyelesaian tindak lanjut dapat lebih ditingkatkan untuk mendorong percepatan terwujudnya transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.
Sedangkan kerugian negara pada semester I Tahun 2009 adalah Rp4,5 triliun, USD46,9 juta, dan sejumlah valuta asing lainnya dengan tingkat penyelesaian sebesar hampir 40% senilai Rp1,14 triliun dan USD40,7 juta. Dalam IHPS I Tahun 2009, juga disebutkan bahwa sampai dengan semester I Tahun 2009, hasil pemeriksaan BPK berindikasi unsur pidana yang disampaikan kepada instansi berwenang berjumlah 223 kasus senilai Rp30,5 triliun dan USD470 juta. Untuk semester I Tahun 2009, hasil pemeriksaan BPK yang berindikasi pidana dan diserahkan kepada penegak hukum adalah 19 kasus senilai Rp340 miliar dan USD94,6 ribu.
Perkembangan Hasil Pemeriksaan selama 5 Tahun
Sejak paket tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004 diterbitkan, implementasinya berlangsung sangat lamban dan hampir tidak ada satu pun jadwal waktu masa transisi yang disebut dalam undang-undang dapat terpenuhi karena belum ada upaya terpadu dari pemerintah untuk mengimplementasikannya. Selain itu, terdapat permasalahan penting lain yaitu (1) sistem perbendaharaan negara belum sepenuhnya terkonsolidasi dalam suatu treasury single account, (2) sistem akuntansi umum belum selaras dengan sistem akuntansi instansi, dan administrasi aset dan hutang belum tertata baik, (3) peranan anggaran budgeter masih tetap besar, (4) berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah di bidang keuangan negara masih bertentangan satu sama lain dan belum selaras dengan semangat paket tiga UU Keuangan Negara, (4) belum terwujudnya anggaran berbasis akrual, (5) teknologi informasi belum terpadu; (6) rendahnya kualitas SDM, dan (7) sistem pengendalian intern belum berfungsi.
Sesuai misi dan kewenangan BPK untuk mendorong terwujudnya tata kelola pemerintahan yang bersih, BPK mengambil 6 (enam) inisiatif beyond its call of duty yang mempengaruhi eksekutif maupun legislatif, yaitu: (1) memperluas objek pemeriksaan, baik pada sisi pendapatan maupun pengeluaran negara, (2) mewajibkan terperiksa (auditee) menyerahkan Management Representation Letter; (3) meminta terperiksa menyusun rencana aksi untuk meningkatkan opini pemeriksaan laporan keuangannya; (4) membantu entitas pemerintah mencari jalan keluar untuk implementasi rencana aksinya, termasuk dalam mengatasi kelangkaan SDM melalui penggunaan tenaga BPKP atau mengirim pejabat mendapat pendidikan di bidang pembukuan dan manajemen keuangan; (5) mendorong perombakan struktural BLU, BUMN dan BUMD agar lebih mandiri dan korporatis; (6) menyarankan kepada DPR, DPD, DPRD untuk membentuk panitia akuntabilitas publik atau PAP.
Dengan enam inisiatif tersebut, pada 2008 sudah terlihat tanda-tanda positif perbaikan sistem keuangan negara di Indonesia yaitu (1) sudah banyak instansi pemerintah pusat maupun daerah yang menyerahkan rencana aksi perbaikan opini sistem keuangan kepada BPK, (2) terjadi peningkatan opini LKKL, termasuk pada berbagai departemen besar seperti Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, Departemen Pertahanan dan TNI, Departemen Pertanian, dan Departemen Pendidikan Nasional, (3) terjadi peningkatan opini LKPD tahun 2006-2008, (4) Lembaga legislatif juga sudah memenuhi saran BPK untuk membentuk Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) melalui UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan (5) Direktorat Jenderal Pajak sudah semakin terbuka untuk diperiksa oleh BPK.
Disamping enam bentuk inisiatif tersebut, BPK juga memiliki insiatif khusus untuk membangun kelembagaan keuangan daerah di lingkungan Provinsi Papua dan Papua Barat. Inisiatif tersebut meliputi bidang perencanaan pembangunan, manajemen keuangan daerah, serta teknologi informasi dan komunikasi yang kemudian dapat dicontoh untuk diterapkan di daerah lain.
Selain tanda positif, BPK menilai adanya perkembangan positif atas masalah-masalah penting, yaitu: (1) BPK telah menemukan rekening liar saat pemeriksaan laporan keuangan tahun 2004-2007secara berturut-turut sebanyak 957 rekening senilai Rp20 triliun pada 2004, 1.303 rekening senilai Rp8,5 triliun pada 2005, 2.383 rekening senilai Rp3,25 triliun pada 2006, dan 2.240 rekening senilai Rp1,39 triliun pada 2007. Selanjutnya, Pemerintah telah merespon dengan membentuk Tim Penertiban Rekening Pemerintah yang pada akhir tahun 2008 telah berhasil menertibkan 39.477 rekening liar senilai Rp35,4 triliun, USD238 juta dan € 2,9 juta; (2) Pemerintah telah membentuk Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dua tahun lalu dan menyelesaikan inventarisasi dan penilaian kembali aset tetap pada 10.254 dari 22.307 satuan kerja dengan hasil revaluasi aset pada 2.054 satker senilai Rp48 triliun sudah dibukukan dan pada 8.200 satker senilai Rp77 triliun belum dibukukan; (3) pencatatan investasi telah dilakukan pada 114 dari 142 BUMN sesuai laporan keuangan BUMN yang diperiksa; dan (4) upaya perbaikan terhadap pencatatan utang jangka panjang luar negeri yang selama 2004-2007 belum dapat diyakini nilai outstandingnya, pada 2008 saldonya telah dapat terkonfirmasi dari pemberi pinjaman.
Selain mendorong transparansi dan akuntabilitas keuangan negara, BPK menjadi pelopor keteladanan atau lead by example melalui opini WTP Laporan Keuangan BPK 2007 dan 2008 yang diperiksa oleh KAP yang ditunjuk DPR dan penilaian peer review yang sangat positif atas mutu kerja BPK oleh lembaga pemeriksa tertinggi Negeri Belanda (Algemene Rekenkamer) pada Agustus 2009.
Dengan melihat tanda-tanda positif dan beberapa kemajuan yang telah dicapai, setelah IHPS I Tahun 2009 ini diharapkan pengelolaan keuangan negara akan semakin transparan dan akuntabel. BPK menghargai usaha yang dilakukan pemerintah sebagai pengelola keuangan negara/daerah dan lembaga perwakilan sebagai pemegang hak budget. Hasil Pemeriksaan Semester I TA 2009 selengkapnya dapat diakses oleh masyarakat luas dan media pada www.bpk.go.id.
BIRO HUMAS DAN LUAR NEGERI BPK RI
B. Dwita Pradana
Plt. Kepala Biro
Leave a Reply