Jakarta, Rabu (10 Juni 2009) – Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia kembali tidak menyatakan pendapat (disclaimer) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2008. Ini berarti, selama lima tahun berturut-turut, 2004 – 2008, BPK telah memberikan opini disclaimer atas LKPP. Opini atas LKPP yang terus menerus buruk seperti ini menggambarkan bahwa perbaikan sistem keuangan negara belum terjadi secara menyeluruh pada semua Departemen/Lembaga Negara. Salah satu penyebabnya adalah karena belum adanya kesungguhan dan upaya yang mendasar, petunjuk maupun program terpadu dari Pemerintah. Demikian dikatakan oleh Ketua BPK Anwar Nasution ketika menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) LKPP tahun 2008 kepada pimpinan DPD di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (10/6).
Terdapat sembilan kelompok permasalahan yang ditemukan BPK, berkaitan dengan pemberian opini disclaimer pada LKPP 2008, yaitu pertama, belum adanya sinkronisasi UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004 dengan UU Perpajakan dan UU PNBP ataupun ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan yang berlaku. Kedua, masih adanya berbagai jenis pungutan yang tidak memiliki dasar hukum dan dikelola di luar mekanisme APBN. Terdapat pungutan sekitar Rp731 miliar oleh 11 kementerian/lembaga negara yang tidak ada dasar hukumnya. Ketiga, belum adanya keterpaduan antara Sistem Akuntansi Umum (SAU) yang diselenggarakan oleh Departemen Keuangan dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang diselenggarakan departemen/lembaga sehingga masih ada selisih antara keduanya. Dilaporkan adanya penerimaan perpajakan Rp3,43 triliun yang belum dapat direkonsiliasikan.
Keempat, rekening liar belum terintegrasi dan terekonsiliasi dalam suatu Treasury Single Account. Kesalahan pembukuan masih terjadi, seperti kesalahan pembebanan pengakuan pendapatan PBB Migas dan Panas Bumi atas Kontraktor Kontrak Kerja Sama Rp5,33 triliun. Kelima, inventarisasi aset negara di berbagai instansi pemerintahan berjalan sangat lambat dan penilaiannya belum seragam. Keenam, belum ada program untuk menyatukan sistem teknologi informasi pemerintah. Ketujuh, belum ada program yang mendasar untuk meningkatkan jumlah sumber daya manusia pemerintah dalam bidang pembukuan dan akuntansi. Kedelapan, belum ada program mendasar untuk memberdayakan Inspektur Jenderal/Satuan Pengendalian Intern dan Bawasda dalam peningkatan mutu penyusunan laporan keuangan maupun pemberantasan korupsi; dan kesembilan, peranan BPKP tetap tidak jelas dalam pembangunan sistem akuntansi pemerintah maupun dalam pemberdayaan pengawas internal pemerintah.
Di samping alasan tersebut, BPK juga melaporkan kemajuan signifikan opini atas laporan kementerian/lembaga dari 2006 hingga 2008. Kementerian/Lembaga Negara yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) meningkat dari 7 pada 2006, menjadi 16 pada 2007, dan 34 pada 2008. Terdapat perkembangan opini Disclaimer menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP), pada Kementerian/Lembaga Negara besar yaitu Departemen Keuangan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Pertahanan, Departemen Pertanian, dan Departemen Perdagangan.
Dibandingkan dengan LKPP sebelumnya, LKPP tahun 2008 sudah menunjukkan adanya perbaikan pengelolaan keuangan negara, seperti: (1) sebagian besar entitas sudah menyampaikan surat representasi manajemen dan rencana aksi; (2) tidak adanya pembatasan lingkup pemeriksaan atas penerimaan dan piutang pajak; (3) pengungkapan secara memadai pengeluaran migas yang melalui rekening 600 dan rekening 508; (4) selisih realisasi belanja SAU dan SAI yang semakin kecil dan tidak signifikan; (5) ada penerbitan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara atau BUN; (6) ada penertiban rekening milik Pemerintah; (7) perbaikan administrasi pinjaman luar negeri; serta (8) inventarisasi dan penilaian kembali sebagian aset tetap sudah dimulai meskipun belum dilakukan sepenuhnya.
Selain memberikan opini, BPK juga menyampaikan LHP Sistem Pengendalian Intern, LHP Kepatuhan terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-undangan, Laporan Pemantauan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan atas LKPP, serta laporan tambahan berupa Laporan Hasil Reviu atas Pelaksanaan Transparansi Fiskal.
Temuan Kelemahan dalam Sistem Pengendalian Intern atas penyajian LKPP yang menonjol antara lain: (1) penerimaan perpajakan yang disajikan dalam LKPP berdasarkan SAU belum seluruhnya dapat direkonsiliasi dengan data penerimaan menurut SAI yaitu di antaranya Rp3,43 triliun tercatat di SAU tetapi tidak tercatat di SAI dan sebesar Rp2,99 triliun tercatat di SAI tapi tidak tercatat di SAU; (2) hibah yang diterima langsung oleh 15 K/L minimal Rp3,93 triliun tidak dipertanggungjawabkan dalam mekanisme APBN; (3) pencatatan atas penarikan pinjaman luar negeri di LKPP tahun 2008 tidak berdasar dokumen sumber yang valid; (4) aset berupa uang muka BUN sebesar Rp3,73 triliun belum dapat teridentifikasi apakah dapat ditagihkan kembali kepada pemberi pinjaman; (5) investasi permanen PMN yang disajikan dalam LKPP 2008 belum sepenuhnya berdasar data yang valid dan beberapa di antaranya belum ditetapkan statusnya; (6) inventarisasi dan penilaian kembali aset tetap pada 12.053 dari 22.307 satker belum selesai dan hasil penilaian kembali pada 8.200 satker senilai Rp77,32 triliun belum dibukukan; (7) aset eks KKKS Rp303,39 triliun dan aset eks BPPN Rp12,42 triliun belum dapat diyakini kewajarannya; (8) pemerintah belum menetapkan kebijakan akuntansi atas penerbitan promissory notes kepada lembaga internasional Rp28,29 triliun dan belum mengakui utang kepada BI sebesar Rp2,83 triliun atas dana talangan dalam rangka keanggotaan pada lembaga tersebut; dan (9) perbedaan SAL dengan fisik kas yang terjadi sejak 2004 sebesar Rp5,42 triliun belum dapat ditelusuri oleh pemerintah.
Ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang menonjol antara lain: (1) pungutan/dana pada 11 kementerian negara/lembaga tidak ada dasar hukumnya dan dikelola di luar mekanisme APBN minimal Rp730,99 miliar; (2) penetapan alokasi DAK tidak sesuai dengan UU No. 33 tahun 2004 sehingga terdapat penyaluran DAK Rp1,28 triliun ke daerah yang tidak layak; (3) pengeluaran atas pengajuan SPM sebesar Rp9,95 miliar yang dibayarkan melalui KPPN Jakarta II diduga fiktif; (4) penyelesaian hak Pemerintah atas kas yang berasal dari perolehan hibah sebesar USD17.28 juta berlarut-larut; (5) pembayaran PBB migas atas KKKS yang dibebankan pada rekening 600 dan 508 tidak tepat; dan (6) penggunaan Rekening Dana Investasi dan Rekening Pembangunan Daerah Rp55,18 miliar dilakukan tanpa melalui mekanisme APBN.
Pemerintah belum menindaklanjuti hasil-hasil pemeriksaan BPK tahun 2004-2007 secara memadai. BPK menemukan bahwa 131 dari temuannya atas LKPP tahun 2004-2007 belum ditindaklanjuti. Di antaranya terdapat 81 temuan berulang sehingga pemantauan atas tindak lanjut dilakukan pada 50 temuan. Dari jumlah itu, 18 temuan sudah ditindaklanjuti sesuai saran BPK, 31 temuan sedang ditindaklanjuti, serta 1 temuan yang belum ditindaklanjuti pemerintah pusat, yaitu permasalahan status investasi permanen lainnya di Bank Indonesia. Temuan yang sedang dan belum ditindaklanjuti antara lain: (1) penyempurnaan sistem informasi penyusunan LKPP; (2) penyempurnaan peraturan penyaluran dan pertanggungjawaban belanja sosial; (3) penertiban pungutan yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga; dan (4) penertiban dalam penetapan kelompok anggaran dan realisasinya.
BPK menegaskan kembali enam langkah untuk memperbaiki kelemahan pokok transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Pertama, perlunya penerapan treasury single account secara utuh menyeluruh. Kedua, perlunya penerapan anggaran berbasis kinerja dan akrual. Ketiga, perlunya sistem aplikasi penyusunan laporan keuangan pemerintah yang terintegrasi dan andal. Keempat, perlunya kebijakan tentang pengadaan sumber daya manusia di bidang akuntansi. Kelima, perlunya quality assurance berupa penataan kembali fungsi pengawasan internal seperti BPKP, inspektorat jenderal/satuan pengendali intern, dan badan pengawasan daerah. Keenam, BPK juga menyarankan kepada DPR, DPD, DPRD provinsi/kabupaten/kota, untuk membentuk Panitia Akuntabilitas Publik agar dapat mendorong pemerintah menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dan memantau pelaksanaan APBN dan APBD secara keseluruhan.
Dalam kesempatan ini, Ketua BPK RI dan Ketua DPD RI melakukan penandatanganan kesepakatan bersama tentang Tata Cara Penyerahan Hasil Pemeriksaan BPK RI kepada DPD RI. Penandatanganan ini memiliki arti sangat strategis di tengah kondisi kualitas laporan keuangan pemerintah daerah yang masih sangat mengecewakan. Desain kesepakatan ini diharapkan tetap saling menghormati dan menjunjung tinggi tugas dan kewenangan masing-masing institusi. Tidak boleh ada campur aduk tugas dan kewenangan. Diharapkan dengan kesepakatan ini, kerjasama dan hubungan yang telah terbangun antara BPK dengan DPD dapat semakin baik dan lebih efektif dalam upaya memperbaiki transparansi dan akuntabilitas keuangan negara khususnya di tingkat daerah.
BPK berharap agar Pemerintah dan Lembaga Perwakilan dapat segera menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dan bersama-sama dengan pemangku kepentingan lainnya untuk terus mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2008 selengkapnya dapat diakses pada www.bpk.go.id pada kolom Hasil Pemeriksaan.
BIRO HUMAS DAN LUAR NEGERI
B. Dwita Pradana
Plt. Kepala Biro
Leave a Reply