Sistem Pengendalian Intern (SPI) yang Mengakibatkan Kerugian Negara dan Ketidakefektifan Program Pemerintah
Jakarta, Selasa (21 April 2009) – Hasil Pemeriksaan BPK RI Semester II Tahun 2008 menyimpulkan bahwa masih banyak terjadi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI) atas entitas/program/kegiatan yang diperiksa dan mengakibatkan tidak hanya permasalahan administrasi, namun terjadi penyimpangan-penyimpangan antara lain; kerugian negara, potensi kerugian negara, kekurangan penerimaan, ketidakhematan/pemborosan, ketidakefektifan, bahkan indikasi tindak pidana. Demikian disampaikan Ketua BPK RI, Anwar Nasution, dalam penyerahan Buku Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2008 kepada DPR RI, di gedung DPR, Jakarta, hari ini.
Pemeriksaan Semester II Tahun 2008 difokuskan pada pemeriksaan dengan tujuan tertentu dan pemeriksaan kinerja, selain menyelesaikan pemeriksaan keuangan atas lembaga pemerintah pusat dan daerah. Perubahan fokus ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran nyata mengenai aspek efisiensi, efektifitas dan ekonomi, serta aspek kepatuhan entitas yang diperiksa dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Objek pemeriksaan seluruhnya 683 buah terdiri dari 424 objek PDTT, 59 objek pemeriksaan kinerja dan 200 objek pemeriksaan keuangan.
Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT):
PDTT diarahkan pada tema-tema yang cukup signifikan dan menjadi perhatian publik. Hasil PDTT secara umum menyimpulkan adanya kelemahan SPI atas entitas/program/kegiatan yang diperiksa dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Total temuan BPK atas hasil PDTT mendekati Rp30 Triliun. Berikut ini tema dan hasil PDTT yang signifikan.
- Pemeriksaan atas pelaksanaan belanja menunjukkan kerugian negara/daerah sebesar Rp25 miliar pada belanja pusat dan Rp253 miliar pada belanja daerah;
- Pemeriksaaan atas Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Pendidikan Lainnya (DPL) menunjukkan kelemahan desain dan implementasi pengendalian seperti keterlambatan penyaluran dana, penggunaan tidak sesuai dengan petunjuk teknis, sisa dana tidak disetor ke kas negara dan ketidakjelasan status aset bantuan pemerintah pusat. Sebanyak 2.592 sekolah senilai Rp624 miliar tidak mencantumkan seluruh penerimaan dana BOS dan DPL dalam rencana anggaran dan pendapatan belanja sekolah. Hal ini menunjukkan akuntabilitas penerimaan sekolah atas berbagai sumber pembiayaan tidak transparan dan berpotensi disalahgunakan.
- Pemeriksaan di bidang manajemen kehutanan menunjukkan bahwa hutan sebagai sumber daya alam yang memegang peranan penting dalam kehidupan umat manusia belum mendapat penanganan secara strategis dan komprehensif. Hal ini mengakibatkan terdapat 74 kasus senilai Rp320 miliar dan USD26 juta serta kerusakan lingkungan hutan.
- Pemeriksaan atas pengelolaan tambang batu bara menunjukkan kelemahan pada aspek perizinan, PNBP, dan pengelolaan lingkungan. BPK menemukan 212 kasus senilai Rp2,69 triliun dan USD779 juta, di antaranya sebanyak 42 kasus senilai Rp2,55 triliun merupakan kekurangan penerimaan. Kualitas pengelolaan yang kurang baik juga menyebabkan kelestarian sumber daya alam hayati dan keseimbangan ekosistem terganggu, hutan sebagai penghasil oksigen semakin musnah, dan pelepasan karbondioksida yang menimbulkan pemanasan global.
- Pemeriksaan atas pengelolaan pinjaman luar negeri menunjukkan bahwa sistem pencatatan pinjaman Luar Negeri belum dapat menghasilkan informasi tentang pinjaman LN secara andal sehingga tidak ada sumber informasi mengenai posisi dan penarikan pinjaman yang dapat dipercaya oleh pemerintah Indonesia dalam pengambilan keputusan secara meyakinkan. Kelemahan klausul kontrak menambah beban keuangan Negara minimal Rp36 miliar, kelemahan pengelolaan mengakibatkan hasil proyek dari dana pinjaman LN senilai Rp438 miliar tidak dapat dimanfaatkan, dan keterlambatan pelaksanaan proyek mengakibatkan tambahan biaya minimal Rp2 triliun.
- Pemeriksaan atas pelaksanaan KKS Minyak dan Gas Bumi menunjukkan kelemahan SPI dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan kekurangan penerimaan Rp14,58 triliun.
Pemeriksaan Kinerja
Fokus pemeriksaan kinerja diarahkan pada aspek pelayanan dan administratif yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan yang memiliki nilai strategis. Secara umum hasil pemeriksaan kinerja menunjukkan tidak terpenuhinya Standar Pelayanan Minimum dan tidak tercapainya sasaran yang telah ditetapkan. Berikut ini hasil pemeriksaan kinerja yang perlu mendapat perhatian:
- Pemeriksaan atas proses administrasi pemekaran daerah atau pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) menunjukkan bahwa sejak tahun 1999 sampai dengan 2008 terdapat 203 daerah pemekaran yang belum didukung suatu Grand Design yang komprehensif yang mengatur arah kebijakan dan strategi pemekaran daerah serta prediksi mengenai jumlah daerah otonomi ideal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembentukan DOB yang datang dari inisiatif DPR seringkali mengabaikan ketentuan proses pembentukan DOB.
- Pemeriksaan atas penyelenggaraan haji musim 1428 H/2007 M menunjukkan bahwa penyelenggaraan belum dilakukan secara efektif, terutama menyangkut Standar Pelayanan Minimum penyelenggaraan haji yang belum ada di setiap embarkasi, kebijakan strategis pola pemondokan yang belum disusun, dan standar baku transportasi darat dan udara yang belum tersedia.
- Objek lain seperti RSUD dan Dinas Kesehatan pada beberapa pemda serta Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi di NAD-NIAS pada umumnya juga menunjukkan tidak terpenuhinya standar pelayanan minimum dan tidak tercapainya sasaran yang telah ditetapkan.
Pemeriksaan Keuangan
Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) pada Semester II Tahun 2008 merupakan pemeriksaan atas LKPD yang terlambat diserahkan oleh 191 pemerintah daerah kepada BPK. Hasil pemeriksaan atas LKPD menunjukkan bahwa transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah masih sangat mengecewakan. Dari 191 LKPD yang diperiksa, sebanyak 72 LKPD memperoleh opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau disclaimer, delapan LKPD memperoleh opini Tidak Wajar (TW), 110 LKPD memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan hanya satu daerah yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), yaitu Kabupaten Aceh Tengah.
Prihatin terhadap fenomena penyimpangan di pusat dan di daerah yang semakin marak, sejak Mei 2008 sampai dengan April 2009, BPK telah melakukan rangkaian kegiatan Dialog Publik untuk mendorong terciptanya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Ketiadaan program yang terpadu dari Pemerintah telah mendorong BPK untuk mengambil enam bentuk inisiatif beyond its call of duty, sebagai berikut: (1) mewajibkan semua terperiksa menyerahkan Management Representative Letter; (2) mendorong perwujudan sistem pembukuan keuangan Negara yang terpadu; (3) meminta terperiksa untuk menyusun rencana aksi guna meningkatkan opini atas laporan keuangan; (4) menyarankan kepada pemerintah untuk menggunakan tenaga BPKP atau belajar akuntansi di berbagai Universitas di Indonesia guna mengatasi kelangkaan SDM; (5) mendorong perombakan struktural Badan Layanan Umum, BUMN, dan BUMD agar lebih mandiri dan korporatis; (6) menyarankan kepada lembaga perwakilan untuk membentuk Panitia Akuntabilitas Publik (PAP).
Pemantauan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan dan Penyelesaian Ganti Kerugian Negara/Daerah
Tindak lanjut Hasil Pemeriksaan BPK sampai dengan Semester II tahun 2008 menunjukkan bahwa dari sebanyak 93.481 rekomendasi senilai Rp764 triliun, jumlah rekomendasi yang telah ditindaklanjuti sesuai saran/rekomendasi sebanyak 37.461 senilai Rp216 triliun, dalam proses tindak lanjut sebanyak 18.010 rekomendasi senilai Rp343 triliun, dan sisanya sebanyak 38.010 rekomendasi senilai Rp205 triliun belum ditindaklanjuti.
Selain itu, dalam tahun anggaran 2008, Laporan Hasil Pemeriksaan BPK yang mengandung unsur tindak pidana dan telah dilaporkan kepada instansi yang berwenang terdiri dari 31 LHP meliputi 40 kasus senilai Rp3,67 triliun dan USD26,37 juta. Sementara itu, penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah, menunjukkan jumlah penyelesaian ganti kerugian negara/daerah sebanyak 30.431 kasus dengan tingkat penyelesaian sebesar 35%. Masih rendahnya tingkat penyelesaian ganti kerugian negara/daerah harus mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah, mengingat proses eksekusi atas penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah. Optimalisasi penyelesaian ganti kerugian negara/daerah ditentukan oleh kesungguhan pemerintah dalam menyikapi penyelesaian kasus-kasus kerugian negara/daerah.
Masih banyaknya hasil pemeriksaan BPK yang berindikasi tindak pidana, kerugian negara/daerah, ketidak hematan/pemborosan dan penyimpangan lainnya, serta rendahnya tindak lanjut dan penyelesaian Tuntutan Ganti Rugi menunjukkan masih belum efektifnya pelaksanaan dan pengelolaan keuangan negara. Di sisi lain, BPK tidak dapat memberikan sumbangan pada perbaikan administrasi perpajakan karena Undang-undang Pajak melarang BPK untuk memeriksa penerimaan, penyetoran maupun penyimpanan penerimaan negara dari pajak.
BPK berharap hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada Pemerintah mendapat tanggapan positif untuk perbaikan pengelolaan keuangan negara. BPK juga berharap Lembaga Perwakilan dapat menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK sesuai dengan kewenangannya. Hasil Pemeriksaan Semester II TA 2008 selengkapnya dapat diakses oleh masyarakat luas dan media pada www.bpk.go.id pada kolom Hasil Pemeriksaan, bagian IHPS.
BIRO HUMAS DAN LUAR NEGERI BPK RI
B. Dwita Pradana
Plt. Kepala Biro
Leave a Reply