Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) telah memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP/qualified) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2015, sama dengan opini yang diberikan BPK RI atas LKPP Tahun 2014. Hasil Pemeriksaan BPK RI memuat 14 (empat belas) permasalahan terkait kelemahan Sistem Pengendalian Internal (SPI) dan 8 (delapan) temuan Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan.
Tahun 2015 ini merupakan tahun pertama penerapan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) berbasis akrual dalam pelaporan keuangan Pemerintah. Diharapkan dengan penerapan SAP berbasis akrual ini laporan keuangan pemerintah lebih akuntabel dan transparan menyajikan informasi mengenai pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara guna mendukung pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, demikian diungkapkan ketua BPK RI Harry Azhar Azis pada saat penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) LKPP tahun 2015 kepada Pimpinan DPR dalam Sidang Paripurna di gedung DPR, Jakarta, Kamis 2 Juni 2016.
Enam permasalahan yang mempengaruhi opini LKPP diantaranya: (1) Ketidakpastian nilai Penyertaan Modal Negara pada PT PLN (Persero), (2) Pemerintah menetapkan Harga Jual Eceran Minyak Solar Bersubsidi lebih tinggi dari Harga Dasar termasuk Pajak dikurangi Subsidi Tetap sehingga membebani konsumen dan menguntungkan badan usaha sebesar Rp3,19 triliun, (3) Piutang Bukan Pajak pada Kejaksaan RI sebesar Rp1,82 triliun dari uang pengganti perkara tindak pidana korupsi dan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebesar Rp33,94 miliar dan USD206.87 juta dari Iuran Tetap, Royalti, dan Penjualan Hasil Tambang (PHT) tidak didukung dokumen sumber yang memadai serta sebesar Rp101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar, (4) Persediaan pada Kementerian Pertahanan sebesar Rp2,49 triliun belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi dan rekonsiliasi Barang Milik Negara yang memadai serta Persediaan untuk Diserahkan ke Masyarakat pada Kementerian Pertanian sebesar Rp2,33 triliun belum dapat dijelaskan status penyerahannya, (5) Pencatatan dan penyajian catatan dan fisik Saldo Anggaran Lebih (SAL) tidak akurat sehingga BPK tidak dapat meyakini kewajaran transaksi dan/atau saldo terkait SAL sebesar Rp6,60 triliun, (6) Koreksi langsung mengurangi ekuitas sebesar Rp96,53 triliun dan transaksi antar entitas sebesar Rp53,34 triliun, tidak dapat dijelaskan dan tidak didukung dokumen sumber yang memadai.
Hasil pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2015 juga mengungkapkan beberapa permasalahan signifikan, yaitu: (1) Penerapan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis akrual belum didukung dengan kebijakan akuntansi, (2) Permasalahan penatausahaan pajak diantaranya Piutang Pajak Macet Sebesar Rp38,22 Triliun Belum Dilakukan Tindakan Penagihan yang Memadai, Pemerintah Belum Menyelesaikan Permasalahan Inkonsistensi Penggunaan Tarif Pajak Dalam Perhitungan Pajak Penghasilan Minyak dan Gas Bumi, dan DJP Belum Menagih Sanksi Administrasi Berupa Bunga dan Denda Sebesar Rp8,44 Triliun, (3) Jumlah Kementerian Lembaga (KL) yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sebanyak 56 KL, sebanyak 26 KL memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan sebanyak 4 KL Tidak Memberikan Pendapat (TMP).
Sebagai bagian upaya mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara BPK telah melengkapi LHP LKPP Tahun 2015 dengan laporan tambahan berupa Laporan Pemantauan Tindak Lanjut LKPP Tahun 2007-2014 dan Laporan Hasil Review atas Pelaksanaan Transparansi Fiskal. Ketua BPK mengharapkan DPR RI dapat membantu tindak lanjut LHP LKPP oleh Pemerintah sehingga tidak ada masalah yang sama pada tahun berikutnya dan kualitas LKPP dapat terus ditingkatkan oleh Pemerintah.
Kepala Biro Humas Dan Kerja Sama Internasional
R Yudi Ramdan Budiman
Leave a Reply