Jakarta, Rabu (27 Februari 2008) – Hari ini BPK mengikuti Sidang Pleno ketiga pengajuan Judicial Review UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) di Mahkamah Konstitusi. Keterangan Pemerintah dhi Menteri Keuangan tentang Permohonan Judicial Review oleh BPK atas UU No. 6/1993 jo UU No. 28/2007 tentang KUP di depan Mahkamah Konstitusi pada 19 Februari 2008 dan dimuat di berbagai media menunjukkan bahwa pemerintah tidak paham dengan pokok persoalan sebenarnya.
- Apa mandat BPK?
Sesuai Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 adalah didirikan sebagai suatu lembaga negara yang bebas dan mandiri hanya untuk melakukan satu mandat saja, yaitu untuk memeriksa setiap sen uang yang dipungut negara, dari mana pun sumbernya, di mana pun disimpan dan untuk apapun dipergunakan. Agar mandat tersebut dapat dilakukan dengan baik maka dibuat UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK dan Paket tiga UU Keuangan Negara sebagai landasan operasionalnya. - Mengapa pemeriksaan pajak diperlukan?
Pemeriksaan pajak diperlukan, karena pajak merupakan penerimaan negara terbesar (sekitar 70%). BPK mendukung sistem self assessment yang diterapkan oleh Pemerintah, tapi sistem tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja tanpa adanya kontrol. Sistem tersebut membuka peluang bagi oknum petugas pajak dan oknum Wajib Pajak (WP) untuk mengemplang atau menghindari pajak yang merugikan negara. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan eksternal oleh BPK. BPK tidakmemeriksa siapa (WP) tetapi memeriksa apa yang ada dalam pengelolaan petugas pajak yang terkait dengan keuangan negara di bidang perpajakan (penerimaan dan piutang pajak). - Bagaimana pengaturan pemeriksaannya? Dan, apa masalahnya?
- BPK sependapat bahwa pengaturannya adalah seperti yang dijelaskan oleh Sekjen Depkeu, Dr. Mulia Nasution dengan mengambil contoh tata cara pemeriksaan pajak dan menjaga kerahasiaan WP di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Canada, Australia, dan Selandia Baru. Tapi bukan itu masalahnya.
- Masalahnya adalah prakteknya di Indonesia tidak seperti yang dijelaskan oleh Depkeu. Selain tidak ada pengaturan seperti itu di Indonesia, bedanya BPK di negara tersebut dan di belahan dunia manapun dapat memeriksa pajak dan tidak dihambat oleh prosedur internal seperti yang diatur dalam pasal 34 ayat (2a) huruf b UU KUP yang menyatakan harus ada izin dari Menkeu terhadap pejabat dan atau tenaga ahli yang boleh memberikan keterangan kepada BPK.
- Masalah lain, dengan kekuasaannya, Menkeu tidak pernah memberikan izin kepada pejabatnya untuk memberikan keterangan kepada BPK. Dari 10 surat yang telah dikirimkan BPK, hanya tiga yang ditanggapi dengan kurun waktu 91-237 hari dan itupun jawabannya adalah tidak memberikan ijin kepada pejabatnya untuk memberikan keterangan. Sesuai dengan peraturan perundangundangan yang ada, BPK hanya diberikan waktu dua bulan untuk memeriksa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
- Dokumen apa yang diperlukan untuk pemeriksaan pajak? Dan apa masalahnya?
- Dokumen yang diperlukan BPK adalah seperti yang dijelaskan oleh Dirjen Perimbangan Keuangan – Depkeu, Prof. Dr. Mardiasmo, yaitu dokumen yang digunakan sebagai dasar pencatatan. Untuk memeriksa nilai penerimaan pajak, diperlukan dokumen SSP, SSBPHTB, STTS, SSPCP, Bukti Pemindahbukuan. Untuk memeriksa nilai piutang pajak, diperlukan SKPKB, SKPKBT, STP, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pelaksanaan Putusan Banding, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan, Surat Keputusan Pembatalan, Surat Keputusan Penghapusan Piutang Pajak, SSP, dan Bukti Pemindahbukuan. Lantas apa masalahnya?
- Masalahnya adalah dokumen yang disebutkan pemerintah dan diinginkan oleh BPK tidak dapat diperoleh karena yang boleh diberikan kepada BPK menurut penjelasan pasal 34 ayat (2a) UU KUP adalah identitas wajib pajak dan informasi umum perpajakan yang bukan dokumen dasar pencatatan sehingga tidak mungkin bagi BPK untuk memerika kewajaran nilai penerimaan dan piutang pajak.
- Implikasinya, dengan sendirinya sesuai Standar Pemeriksaan, BPK tidak mungkin dapat memberikan pendapat (disclaimer opinion) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. BPK tidak mungkin memberikan pendapat atas sesuatu yang tidak diketahui.
- Jadi, pokok masalahnya adalah BPK tidak dapat melakukan mandat pemeriksaan sesuai UUD 1945, UU No 15/2006 dan paket tiga UU Keuangan Negara karena (i) hambatan pengaturan/prosedur yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU KUP dan (ii) hambatan dokumen yang diatur dalam Penjelasan pasal 34 ayat (2a) UU KUP. Sehingga BPK perlu meminta MK untuk membuat dua keputusan. Pertama, untuk menyederhanakan prosedur pemeriksaan BPK-RI atas penerimaan negara dari pajak. Kedua, memperkaya jenis informasi perpajakan yang tersedia bagi BPK-RI.
- Dengan demikian, Pemerintah perlu memahami bahwa pokok masalah pengajuan judicial review ini bukan seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan. Ini bukan masalah sengketa antara BPK versus Negara, atau masalah kekuasaan, atau akal-akalan BPK untuk memeriksa WP, atau intimidasi pemberian opini, atau masalah perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), atau masalah ketidakpastian hukum. Pemerintah perlu menyadari bahwa Pemeriksaan BPK bertujuan membantu Pemerintah dalam menegakkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara demi kemakmuran seluruh rakyat (welfare state). Pemeriksaan BPK akan memberikan kepastian hukum bagi para WP yang jujur dan taat serta menumbuhkan iklim investasi yang kondusif.
- Dengan penjelasan tersebut di atas, maka sangat relevan, logis dan sah langkah yang ditempuh oleh BPK untuk melakukan judicial review UU KUP yang telah melecehkan kewenangan konstitutional BPK.
BIRO HUMAS dan LUAR NEGERI BPK-RI
Leave a Reply